Mengapa Jepang dikenal sebagai negara yang aman?
Kebanyakan orang yang sudah pernah mengunjungi Jepang akan merasa bahwa negeri sakura ini memberikan rasa aman baginya dalam berbagai hal. termasuk salah satu orang yang sudah cukup sering menghabiskan waktu di Jepang dan sempat tinggal di Tokyo dalam waktu yang cukup lama, meskipun pengalaman penulis belum sebanding dengan orang-orang ahli yang sudah tinggal puluhan tahun di sana. Berbagai pengalaman dan pemandangan baru didapat penulis di negeri sakura ini dimulai dari banyaknya wanita yang berjalan seorang diri di tengah malam, banyaknya anak-anak kecil yang bisa pergi ke sekolah seorang diri atau bersama teman-temannya tanpa kawalan orang tua, tidak cemas jika ketinggalan barang di suatu tempat, bisa tenang bepergian tidak peduli siang atau malam, hingga tenang meninggalkan barang di atas meja saat mau mengambil makanan.
Apakah Jepang sebagai negara yang aman maka tidak ada tindak kejahatan? Tentu saja ada, karena seaman apapun sebuah negara pastilah ada tindak kejahatan. Pada kenyataannya tindak kejahatan di Jepang tidaklah serendah yang dibayangkan banyak orang. Cukup banyak tindak kejahatan yang tidak dilaporkan atau diabaikan oleh pihak kepolisian karena biasanya tindak kejahatan itu berkaitan dengan Yakuza.
Ya, Yakuza mewakili kejahatan terorganisir di Jepang. Tapi berdasakan dari pengalaman, penulis beranggapan bahwa mereka tidak akan berbuat kejahatan ke warga biasa selama anda tidak macam-macam dan mengusik mereka. Sebisa mungkin hindarilah tempat-tempat yang disinyalir banyak Yakuza. Meskipun dianggap sumber tindak kejahatan, mereka tidak akan masuk ke rumah anda untuk mencuri, mereka juga tidak akan memeras anda di jalan.
Masyarakat Jepang sangat memercayai polisi karena pihak kepolisian Jepang memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam memecahkan kasus kejahatan.
Di balik semua itu, kasus intimidasi (bully) merupakan kasus yang seringkali ditemukan di Jepang. Beberapa kasus kekerasan seksual juga dilaporkan. Meskipun demikian, presentasi kejahatan di Jepang bisa dikatakan sangatlah kecil.
Saat pertama kali mengunjungi Jepang pada tahun 1999, pertama kali yang membuat penulis heran adalah banyaknya jidouhanbaiki atau mesin penjual otomatis minuman yang diletakkan begitu saja di jalan dan bertebaran di mana-mana. Yang terbersit di dalam benak penulis adalah apa yang akan terjadi jika mesin-mesin itu diletakkan di jalan-jalan di Indonesia? Kembali penulis bertanya kenapa mesin-mesin itu bisa bersih dan sangat terawat, apakah tidak ada orang-orang tidak bertanggung jawab yang sengaja menghancurkan mesin itu dan mengambil minuman-minuman di dalamnya secara paksa? Semua pertanyaan itu terus memenuhi pikiran penulis selama berhari-hari.
Akhirnya, penulis tidak tahan untuk bertanya ke orang Jepang yang ada di tempat penulis tinggal. Setelah mendengar pertanyaan, mereka melihat penulis dengan pandangan aneh yang membuat penulis bertanya apakah mereka menangkap kata-kata penulis. Mereka malah balik bertanya apakah pertanyaan yang penulis lontarkan benar. Penulis balik bingung dan menyakinkan mereka kalau yang penulis tanyakan benar karena yakin tidak ada kata-kata yang salah. Setelah meyakinkan mereka bahwa mereka mendengar dengan benar, jawaban mereka adalah sederhana:
“Karena mereka tahu bahwa mereka tidak seharusnya.”
Awalnya penulis bingung dengan jawaban itu dan butuh waktu agak lama untuk mencernanya. Tentu saja mereka tahu mereka tidak seharusnya, semua anak-anak di seluruh dunia tahu mereka tidak seharusnya, tetapi perbedaan di Jepang adalah bahwa anak-anak percaya hal-hal tersebut adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan, jauh lebih percaya dibandingkan anak-anak di negara lain. Apa yang membedakannya adalah budaya yang unik.
Pada akhirnya penulis berkesimpulan budaya di Jepang adalah jawaban dari semua pertanyaan yang ada. Bagi penulis, budaya yang unik ini adalah alasan besar mengapa kejahatan umum, terutama kejahatan terhadap properti, sangat langka terjadi di Jepang. Budaya malu yang dianut masyarakatnya adalah kekuatan yang sangat kuat. Karena setiap tindakan tidak terpuji yang anda lakukan tidak hanya membuat anda malu sendiri, tetapi juga mempermalukan keluarga anda, teman anda, komunitas anda, dan rekan bisnis anda.
Inilah sebabnya mengapa anda melihat di media sebuah permintaan maaf yang sangat umum, sangat terlihat dan sangat tulus dari presiden perusahaan besar ketika perusahaan mereka telah melakukan sesuatu yang salah dan yang dalam beberapa hal dianggap menyakiti atau menipu pelanggan mereka. Bahkan pengakuan bersalah dan permintaan maaf yang mendalam dan tulus dengan penyesalan yang tulus pun belum tentu bisa dimaafkan oleh masyarakat yang menganggap perbuatan tidak terpuji adalah kesalahan yang sangat fatal.
Untuk memahami ini, anda perlu memahami sedikit tentang sejarah Jepang. Meskipun sudah sering datang ke negeri ini, anda mungkin tidak manyadari betapa sedikit lahan layak huni yang ada di pulau-pulau di Jepang. Sebanyak 80% atau lebih adalah wilayah pegunungan yang biasanya sengaja dibiarkan kelestariannya dengan tidak dibangun pemukiman di daerah-daerah tersebut. Sekarang bayangkan jumlah penduduk di Jepang yang turun temurun harus tinggal di wilayah yang sempit itu, mereka harus bergaul tanpa mengganggu satu sama lain. Bayangkan mereka harus tinggal bertetangga hanya dengan dinding kertas sebagai pemisah ruang mereka, bagaimana mereka harus beretika dan tidak mengeluarkan suara-suara yang tidak mengganggu orang yang ada di sebelah mereka. Tidak butuh waktu lama bagi norma-norma sosial kesopanan, kejujuran, non-konfrontasi dan sebagainya untuk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Jepang.
Setidaknya itu yang penulis dapatkan ketika berada di Jepang. Bagaimana dengan Jepang saat ini? Mereka telah menunjukkan bahwa budaya mereka secara perlahan berubah. Memasuki era modern, tidak bisa dipungkuri budaya mereka mulai tergerus dengan antusias anak muda mereka kepada ide dan budaya barat, Ini perlahan-lahan merubah mereka menjadi lebih kebarat-baratan sepanjang waktu, termasuk di daerah yang berkaitan dengan kejahatan, terutama di kalangan remaja. Saat ini penulis sudah sulit menemukan jidouhanbaiki yang menjual bir, yang sepertinya dilakukan untuk mengurangi konsumsi oleh di anak-anak di bawah umur. Uniknya, budaya malu masih tetap kuat.
Hal lain yang menekan angka kejahatan di Jepang adalah elemen-elemen sayap kanan masyarakat Jepang yang ingin kembali ke masa lalu dari Imperial Jepang dan memperkuat larangan budaya terhadap kejahatan jalanan umum.
Satu hal yang jarang diketahui oleh orang asing adalah ketatnya sistem akuntabilitas. Dimana setiap warga Jepang harus mendaftar kepada pemerintah saat lahir, menempatkan nama mereka di samping daftar nama nenek moyang dengan rincian silsilahnya yang lengkap. Yang secara efektif menghubungkan mereka dengan seluruh keluarga / marga pada sistem pendaftaran transparan untuk setiap pengusaha atau pekerja. Dengan sistem ini, mereka bisa mengekang kejahatan tanpa mengganggu hukum karena setiap anda berbuat jahat dan dihukum, akan dicatat bersama pohon silsilah keluarga anda. Saat hendak bekerja, perusahaan akan menyeleksi anda dengan melihat keluarga anda dan latar belakangnya dan akan mengeluarkan permintaan maaf dan mengatakan “tampaknya keluarga Anda tidak begitu” bersih “…”, jika ada salah satu keluarga yang pernah tercatat berbuat kejahatan. Dari sudut pandang yang berbeda mungkin sistem dan perlakuan ini dianggap tidak adil karena terjadi penyamarataan padahal belum tentu anggota keluarga yang lain akan melalukan hal yang sama seperti anggota keluarga yang berbuat jahat, Tapi itulah kenyataan yang ada di Jepang.
Penulis beranggapan berbagai budaya dan sistem yang diterapkan di Jepang inilah yang membuat negara ini masih di antara negara-negara paling aman di Bumi untuk hal kejahatan jalanan, kekerasan interpersonal dan kejahatan terhadap properti meskipun bukan yang paling aman.
Text by Aditya Rai
Photo by Aditya Rai