Orang Jepang bisa bekerja 20 jam dalam 1 hari?
Membicarakan pola bekerja di Jepang maka hal pertama yang terpikir adalah kedisiplinan, tepat waktu, dan tidak mengenal waktu istirahat sebelum pekerjaan selesai. Berbisnis dengan orang Jepang seakan mengubah pola kebiasaan bekerja yang sudah biasa di Indonesia. Datang lebih awal dari waktu yang sudah dijanjikan adalah sesuai yang lumrah dan membiarkan orang menunggu adalah sesuatu yang sangat tidak terpuji. Pada dasarnya setiap orang Jepang sejak kecil sudah terbiasa mengatuir waktu dan menyiapkan diri untuk segala sesuatu yang selalu berubah di setiap pergantian musim. Semua ini bisa terwujud di Jepang karena didukung oleh infrastruktur yang sangat baik sehingga orang bisa bepergian dengan mudah menggunakan angkutan umum.
Email menjadi media yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi jika rekan kerja berada di negara yang berbeda, Menggunakan email untuk berkomunikasi dengan orang Jepang yang menjadi rekan bisnis menjadi pengalaman baru yang bisa membuat berpikir “apakah orang Jepang tidak pernah tidur?”. Dengan perbedaan waktu di Jepang 2 jam lebih cepat di Indonesia, saat mengirimkan email pada jam 24:00 atau 01:00 malam maka tentunya akan menganggap email baru akan dibalas di pagi keesokan hari, tapi apa yang seringkali terjadi adalah email tetap dibalas dengan cepat.
Ketelitian menjadi hal penting saat bekerja. Dengan pola kerja yang cepat dan tidak mengenal waktu itu, ketelitian tetap diperhatikan, karena biasanya kesalahan sedikit saja bisa membuat rekan kerja mulai tidak menyukai kita, meskipun mungkin tidak langsung diungkapkan.
Masih banyak lagi pola kerja yang sulit diungkapkan dan hanya ditemukan saat bekerja di Jepang, dimana berbagai hal tersebut bisa untuk menyimpulkan bahwa orang Jepang adalah masyarakat yang gila kerja. Lalu timbul pertanyaan “bagaimana mungkin orang Jepang bisa bekerja 20 jam dalam 1 hari””. Pertanyaan ini tidak timbul secara tiba-tiba, tapi karena pada kenyataannya memang banyak pekerja di Jepang yang bahkan merelakan waktu tidur dan istirahatnya demi kepentingan kantor, Hal ini seakan menjadi sebuah budaya di masyarakat Jepang dan tidak pulang ke rumah demi kerja sudah menjadi hal yang lumrah. Hal ini didukung dengan pola pikir orang Jepang yang senang jika disibukkan oleh pekerjaan dan bangga jika bisa menjadi orang yang berguna di tempat kerja yang sudah memilihnya sebagai karyawan. Mungkin ini karena mereka memiliki pemikirian “hidup untuk bekerja”, bukan “bekerja untuk hidup”.
Lalu bagaimana pemikiran karyawan yang harus bekerja 20 jam dalam 1 hari? Tidak sedikit yang menganggap itu adalah sebuah kewajiban mereka untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah diserahkan ke mereka meskipun melebihi jam kerja seharusnya. Tidak sedikit yang merasa tenaganya menjadi terkuras banyak dan membuat mereka selalu merasa lelah dan juga mempengaruhi psikologi mereka. Mereka bekerja karena sudah menjadi kewajiban dan harus membiasakan diri serta harus bisa menyesuaikan dengan keadaaan. Karenanya mereka sudah terbiasa mengatur waktu untuk bekerja juga untuk kondisi tubuh mereka sendiri. Tidak masalah hidup di tempat yang sangat sempit dengan makanan seadanya, ruang hidup yang sedikit, dan berbagai keterbatasan yang ada.
Dari pengalaman bekerja di Jepang dan memiliki rekan kerja orang Jepang, bisa mengetahui kalau masyarakat Jepang ada yang memandang rendah orang dengan jam kerja kurang dari 10 jam dalam 1 hari. Bagi orang yang jam kerjanya di bawah 10 jam juga akan merasa mereka bukan bagian dari tim dimana mereka berkumpul dan bersosialisasi. Hal ini menjadi sebuah stadard kerja di Jepang. Saat ditanyakan kenapa bisa menjadi seperti itu, mereka hanya menjawab “kami sebenarnya tidak menyukai standarisasi seperti itu, tapi kami harus bisa melalukan itu”.
Lalu apakah efek dari pola kerja yang terlalu berlebihan ini? Secara hasil, produk yang lahir dari pola kerja ini tidak pernah diragukan kualitasnya. Sudah bukan rahasia lagi kalau produk Jepang memiliki kualitas yang paling dipercaya dalam berbagai hal. Sistem transportasi mereka dipercaya di seluruh dunia termasuk sistem Shinkansen mereka. Produk elektonik dan kosmetik yang diproduksi di Jepang sudah tak diragukan lagi kualitasnya. Tetapi semua hasil itu harus dibayar juga oleh efek negatif dari pola kerja yang terlalu berlebihan ini. Banyak sekali masyarakat Jepang yang mengalami stress karena pola kerja ini, bahkan ada yang memutuskan melakukan bunuh diri karena sudah tidak tahan lagi. Kasus yang paling baru adalah kasus bunuh diri seorang karyawati di salah satu perusahaan besar di Jepang. Hal ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah Jepang yang kemudian ikut turun tangan untuk memperbaiki pola kerja di Jepang dengan memberikan perintah untuk mengurangi jam lembur karyawan. Apakah himbauan pemerintah ini akan mengurangi depresi kerja yang dialami masyrakat Jepang? Secara keseluruhan mungkin cukup sulit, karena pada kenyataannya, meskipun kantor dan perusahaan menentukan jam untuk mematikan semua listrik lebih awal, tetap saja ada pegawai yang memilih untuk tetap tinggal di kantor atau malah membawa kerjaan ke rumahnya karena adanya rasa tanggung jawab yang besar akan pekerjaannya.
By Aditya Rai
Photo: Aditya Rai